• Breaking News

    1.4. Ruang Lingkup, Arti Penting, dan Perkembangan Perlindungan Tanaman


    Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa perlindungan tanaman (crop protection) didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan", sedangkan organisme pengganggu tumbuhan didefinsikan sebagai "semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan". Dari kedua definisi ini, dapat diapahami bahwa perlindungan tanaman tidak mencakup gangguan yang bukan disebabkan oleh organisme. Dengan demikian, perlindungan tanaman tidak mencakup gangguan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan unsur hara (nutrients) maupun gangguan karena faktor linkungan yang kurang mendukung (unfavourable environment) sebagaimana yang dimaksud dalam buku-buku teks mengenai perlindungan tanaman. Gangguan di luar yang disebabkan oleh OPT, atau gangguan ‘non-pathogenic or abiotic agent’, tidak menjadi bagian dari perlindungan tanaman.


    Istilah tumbuhan (plant) dalam definisi OPT perlu dipahami secara hati-hati. Secara botanis, tumbuhan mencakup berbagai jenis organisme, tumbuhan berbunga, algae, bahkan jamur. Pertama, gulma (weed) termasuk tumbuhan dan oleh karena itu, musuh alaminya dengan sendirinya merupakan organisme pengganggu tumbuhan. Hal ini rupanya kurang mendapat perhatian dalam mendefinisikan OPT sehingga bila tidak dicermati maka membunuh musuh alami gulma berarti melindungi tanaman, padahal seharusnya tidak demikian. Kedua, karena mencakup semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan maka di dalam konsep OPT juga termasuk organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan liar (bukan budidaya). Sebagaimana diatur melalui konvensi internasional yang dikenal dengan nama CITES (Convention on International Trade of Endangered Species), semua negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut wajib melindungi tumbuhan di negaranya dari kepunahan, baik yang disebabkan oleh OPT maupun perdagangan liar. Akan tetapi, karena perlindungan tanaman didefinisikan sebagai “segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman” maka perlindungan tanaman tidak mencakup perlindungan terhadap tumbuhan liar, sekalipun terhadap gangguan yang disebabkan oleh OPT yang mengancam kepunahan tumbuhan liar tersebut.

    Bagaimana dengan kerusakan, gangguan terhadap kehidupan, atau kematian tanaman yang disebabkan oleh pencuri? Manusia adalah juga organisme dan pencurian, meskipun mungkin bisa dan mungkin juga tidak merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tanaman, jelas menimbulkan kehilangan hasil. Beberapa definisi mengenai perlindungan tanaman, di antaranya definisi menurut Wikipedia, memasukkan pencuri sebagai OPT. Karena pencuri saja dapat digolongkan sebagai OPT, apalagi ternak yang dibiarkan berkeliaraan oleh pemiliknya. Ternak yang dibiarkan berkeliaraan dengan sendirinya dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau bahkan menyebabkan kematian tanaman sehingga dapat digolongkan sebagai OPT. Hal yang sama juga berlaku bagi satwa liar yang dilindungi seperti gajah, bila masuk ke permukiman penduduk dan merusak, mengganggu kehidupan, atau mematikan tanaman maka dapat berstatus sebagai OPT. Hanya saja, karena manusia, ternak, dan satwa liar tidak dapat disamakan dari segi nilainya dengan jenis OPT lainnya maka upaya perlindungan tanaman terhadap pencurian dan terhadap kerusakan, gangguan kehidupan, atau kematian yang disebabkan oleh ternak dan satwa liar tidak dapat sama dengan yang dilakukan, misalnya terhadap serangga hama, yaitu dengan membunuhnya (apalagi dengan pestisida). Untuk OPT khusus ini perlindungan tanaman dilakukan secara khusus, misalnya dengan memberikan sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

    Definisi perlindungan tanaman maupun organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana yang telah diuraikan merupakan definisi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga meskipun agak rancu dan membingungkan, tetap harus diterima karena undang-undang bersifat mengikat. Termasuk misalnya, apakah dengan definisi OPT sebagaimana yang telah dijelaskan maka hama dalam arti luas bermakna sama dengan OPT sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa “Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu”? Pada penjelasan salah satu peraturan perundang-undangan disebutkan:
    Sistem pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup.
    Dari penjelasan ini tersirat bahwa hama adalah populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan. Dengan kata lain, bila hanya satu individu maka OPT bukan termasuk hama, padahal sapi lepas, apalagi gajah, hanya satu ekor sekalipun dapat menimbulkan kerusakan, gangguan terhadap kehidupan, atau bahkan sangat menyebabkan kematian terhadap tanaman. Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa pengendalian hama terpadu hanya mencakup kegiatan pengendalian, padahal perlindungan tanaman dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan masuk atau menyebar, pengendalian, dan eradikasi.

    Organisme yang tercakup di dalam perlindungan tanaman merupakan sasaran perlindungan tanaman. Bila perlindungan tanaman perlu dilakukan terhadap wereng cokelat maka wereng cokelat merupakan sasaran perlindungan tanaman. Namun untuk melakukan perlindungan tanaman terhadap wereng cokelat, juga terhadap berbagai OPT lainnya, diperlukan lebih dari sekedar mengetahui yang mana yang disebut wereng cokelat, organisme apa yang menjadi musuh alami wereng cokelat, kapan tanaman harus mulai diberi perlindungan terhadap wereng cokelat, apa yang perlu dilakukan untuk melindungi tanaman dari wereng cokelat, dan seterusnya. Dengan kata lain, untuk berhasil melindungi tanaman dari wereng cokelat diperlukan lebih dari sekedar mengetahui “berapa jumlah kaki dan sayap wereng cokelat”, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Ian Falk, seorang sosiolog dari Charles Darwin University, Australia, bahwa "science and technology are important, but simply not enough” atau oleh oleh Prof. Andrew P. Vayda, seorang ekologiwan manusia dari Rutgers University, AS, “seeing nature’s complexity but not people’s”. Biologi dan ekologi memang merupakan ilmu dasar yang sangat diperlukan untuk dapat memahami OPT dan kerusakan, gangguan kehidupan, atau kematian yang disebabkannya terhadap tanaman. Namun untuk dapat melindungi tanaman terhadap OPT, selain diperlukan pengetahuan mengenai biologi dan ekologi OPT sasaran, juga diperlukan:
    • pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang perlindungan masyarakat, 
    • keperdulian masyarakat terhadap permasalahan perlindungan tanaman, 
    • kesanggupan petani untuk melaksanakan perlindungan tanaman sebagai tanggung jawab sebagaimana diamatkan oleh peraturan perundang-undangan, dan
    • berbagai faktor lainnya. 
    Pada dasarnya, karena perlindungan tanaman merupakan upaya maka akan membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya sehingga pada akhirnya, apakah petani akan melakukan atau tidak, akan bergantung pada perhitungan untung rugi.

    Oleh karena itu, sejauh mana kemudian perlindungan tanaman menjadi penting, akan bergantung pada bagaimana seseorang dapat memahami permasalahan perlindungan tanaman secara mendalam, utuh, dan menyeluruh. Mereka yang mengatakan perlindungan tanaman penting hanya atas dasar pertimbangan biologi dan ekologi akan sulit dapat diterima oleh mereka yang, karena keterbatasan pendidikannya atau kekurangpeduliannya, tidak menyadari bahwa OPT menyebabkan kehilangan hasil yang sedemikian besar. Kalaupun menyadari bahwa OPT dapat menyebabkan kehilangan hasil yang merugikan, mereka tidak dapat melakukan upaya perlindungan yang diperlukan karena kesulitan biaya atau karena enggan melanggar kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Petani jeruk keprok di Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU, karena kurang diberikan informasi mengenai OPT jeruk keprok yang sebenarnya, mengatakan “kutu hitam adalah anak semut yang digendong oleh induknya untuk sampai ke pucuk jeruk untuk diisap.” Petani kakao di Kabupaten Sika tidak bersedia membungkus buah kakao dengan kantong plastik sebagaimana yang direkomendasikan pemerintah karena “tidak mempunyai cukup tenaga untuk melakukannya dan karena memanjat pohon kakao tinggi di lereng gunung berisiko jatuh masuk ke jurang”.

    Perlindungan tanaman penting karena kehilangan hasil yang disebabkan oleh OPT, sebagaimana telah diuraikan pada tulisan sebelumnya, begitu tinggi. Perlindungan tanaman yang dilakukan dengan benar akan dapat menurunkan kehilangan hasil sehingga kerugian yang ditimbulkan oleh OPT dapat dikurang. Kemampuan menurunkan kehilangan hasil tersebut sangat bervariasi antar tanaman dan antar kawasan. Kemampuan mengurangi kehilangan hasil gandum, padi, jagung, barley, kentang, kedelai, bit gula, dan kapas pada 1996-1998 misalnya, adalah tertinggi di kawasan Eropa Barat Laut dan terendah di kawasan Afrika Tengah. Hal ini dimungkinkan karena, selain karena peran teknologi, juga karena peran pemerintah negara-negara di kawasan tersebut menempatkan perlindungan tanaman sebagai kebijakan prioritas. Di kawasan Asia Timur misalnya, kemampuan menurunkan kehilangan hasil melampau kemampuan menurunkan kehilangan hasil rerata dunia karena pemerintah Jepang, meskipun Jepang dikenal sebagai negara yang perekonomiannya berbasis teknologi tinggi, tetap menempatkan pembangunan pertanian, terutama pertanian tanaman pangan, sebagai prioritas. Hal ini berbeda misalnya dengan di negara-negara berkembang yang pemerintahnya, meskipun memberikan perhatian pada pembangunan pertanian, perhatian yang diberikan masih kalah prioritas dibandingkan dengan perhatian terhadap sektor lain. Bandingkan misalnya, besar anggaran seluruh pemilihan umum secara langsung yang dilaksanakan di Indonesia, untuk legislatif, presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dengan besar anggaran perlindungan tanaman.

    Di beberapa negara maju, perlindungan tanaman bahkan telah diintegrasikan dengan perlindungan pada sektor-sektor pembangunan lain di luar pertanian tanaman. Pengintegrasian tersebut dilakukan dengan alasan:
    • Sama-sama menghadapi gangguan oleh organisme pengganggu tumbuhan yang sama
    • Sama-sama menghadapi gangguan yang berisiko sebagaimana halnya risiko yang ditimbulkan oleh organisme pengganggu tumbuhan. Dalam hal ini risiko merupakan fungsi kemungkinan terjadinya pengaruh yang berbahaya yang merugikan dan besarnya potensi kerugian yang terjadi.
    Atas dasar kedua alasan di atas maka perlindungan tanaman mempunyau kaitan yang erat dengan kegiatan pembangunan pada sektor-sektor kehutanan, peternakan, kesehatan manusia, dan lingkungan hidup. Pengintegrasian ini melahirkan konsep ketahanan hayati (biosecurity), sebagai upaya perlindungan ekonomi, lingkungan hidup, dan kesehatan manusia dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh hama, penyakit, dan gulma bukan hanya di batas negara (border) atau setelah melampaui batas negara (post-border), melainkan ketika masih berada di luar batas negara masing-masing dengan menjalin kerjasama dengan negara-negara di mana OPT berbahaya telah ada (pre-border). Pengintegrasion perlindungan tanaman ke dalam konsep ketahanan hayati tersebut telah dilakukan secara penuh misalnya di Selandia Baru (Biosecurity New Zealand) dan proses ke arah yang kurang lebih sama sama dilakukan di Australia (Biosecurity in Australia). Di Amerika Serikat, perlindungan tanaman merupakan bagian dari perlindungan tumbuhan dan karantina (plant protection and quarantine).
    Perlindungan tanaman memang senantiasa berkembang. Pada awalnya perlindungan tanaman dilakukan sebagai bagian dari kegiatan membudidayakan tanaman. Misalnya, pemagaran tanaman dilakukan untuk melindungi tanaman dari ternak lepas, pergiliran tanaman dilakukan untuk memutus daur hidup binatang hama, penggunaan pupuk kompos dilakukan untuk menekan perkembangan jamur dan bakteria patogenik, penyiangan dilakukan untuk mengurangi gulma yang tumbuh bersaing dengan tanaman, dan seterusnya. OPT juga dikendalikan dengan menggunakan msuh alami (natural enemy), mulai dari memelihara kucing untuk mengendalikan tikus di gudang penyimpanan sampai memelihara anjing pemburu untuk menjaga ladang dari serbuan babi hutan, rusa, landak, dan kera ekor panjang sampai ke membuatkan tempat semut bersarang untuk mengendalikan OPT tertentu. Kemudian, pada 1950-an Revolusi Hijau (Green Revolution) dimulai dan bahan kimia menjadi sarana produksi yang penting, bukan hanya pupuk kimia (fertilizer), tetapi juga pestisida (pesticide) setelah pada Perang Dunia II berhasil diciptakan DDT (dikloro difenil trikloroetana) untuk memerangi nyamuk yang ternyata membunuh banyak tentara Sekutu karena penyakit malaria. Setelah penemuan DDT, ditemukan pula berbagai jenis pestisida lain dan sejak itu pestisida kemudian berkembang menjadi seakan-akan senjata pamungkas dalam perlindungan tanaman. Penggunaan musuh alami yang menjelang Perang Dunia II menjadi primadona perlindungan tanaman segera kehilangan popularitasnya.

    Penggunaan pestisida secara berlebihan kemudian ternyata menimbulkan berbagai masalah. Rachel Carson, misalnya, menulis buku Silent Spring untuk menjelaskan bahwa penggunaan pestisida telah membunuh jengkrik, tongereret, kupu-kupu, kunang-kunang, dan sebagainya sehingga musim semi yang seharusnya ramai menjadi sunyi sepi. Namun kritik tersebut tidak segera mendapat perhatian. Baru kemudian pada tahun 1960-an, di kalangan entomologiwan, khususnya di antara mereka yang mendalami ekologi serangga, mulai ada yang menyadari dampak negatif pestisida dan menghadirkan konsep pengendalian hama terpadu (integrated pest control, IPC) sebagai:
    ... applied pest control which combines and integrates biological and chemical control. Chemical control is used as necessary and in a manner which is least disruptive to biological control. Integrated control may make use of naturally occurring biological control as well as biological control effected by manipulated or induced biotic agents.
    Dalam konsep pengendalian hama terpadu tersebut pestisida digunakan hanya bila benar-benar diperlukan dan harus digunakan sedemikian rupa sehingga menimbulkan gangguan sesedikit mungkin terhadap pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Konsep pengendalian hama terpadu tersebut, pada perkembangan selanjutnya, berubah menjadi pengelolaan hama terpadu (integrated pest management, IPM) yang antara lain oleh M. Kogan didefinisikan sebagai:
    ... a decision support system for the selection and use of pest control tactics, singly or harmoniously coordinated into a management strategy, based on cost/benefit analyses that take into account the interests of and impacts on producers, society, and the environment (Kogan, 1998).
    Pengelolaan hama terpadu bukan lagi sekedar penggabungan berbagai cara pengendalian atau penggunaan pestisida sebagai pilihan terakhir sebagaimana pada pengendalian hama terpadu, melainkan merupakan sistem pendukung pengambilan keputusan perlindungan tanaman.

    Indonesia mulai menerapkan pengendalian hama terpadu pada tahun 1980-an setelah penggunaan pestisida secara besar-besaran yang dilakukan sebagai bagian dari program BIMAS untuk mewujudkan swasembada beras ternyata justeru mengancam keberlanjutan swasembada itu sendiri. Penerapan pengelolaan hama terpadu tersebut dinamakan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu, disingkat PHT. Program tersebut menggunakan istilah pengendalian, meskipun yang dimaksud sebenarnya adalah pengelolaan hama terpadu. Berkat dukungan politik pemerintah Orde Baru ketika itu, dan juga dukungan FAO, Indonesia mendapat pengakuan dunia sebagai negara berkembang yang berhasil menerapkan PHT. Atas dasar keberhasilan tersebut, PHT kemudian ditetapkan sebagai sistem perlindungan tanaman sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan kemudian dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Mengenai kedua peraturan perundang-undangan ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, uraian lebih lanjut akan diberikan pada tulisan selanjutnya. Dengan menetapkan PHT sebagai sistem perlindungan tanaman. kedua peraturan perundang-undangan ini merupakan pilar penting dalam perkembangan perlindungan tanaman di Indonesia. Sebagai sistem perlindungan tanaman penerapan PHT juga terus berkembang sebagaimana akan diuraikan pada tulisan-tulisan selanjutnya.

    Softskill
    Bagikan tulisan ini melalui Google +, Facebook, atau Twitter dengan mengklik ikon berbagi yang terdapat di bagian bawah tulisan. Kemudian berikan komentar dengan menggunakan alamat email yang menggunakan nama sebenarnya, dengan cara mengetikkan dalam kotak Masukkan komentar Anda... mengenai apa yang dapat dipahami dari tulisan di atas dan ajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang belum dipahami dan kemudian mengklik tombol Publikasikan.  Sampaikan komentar dan pertanyaan maksimum sebanyak 150 kata selambat-lambatnya pada 23 Maret 2018.

    Creative Commons License


    Untuk memahami tulisan singkat ini secara lebih tuntas, silahkan klik setiap tautan yang tersedia. Bila Anda masih mempunyai pertanyaan, silahkan sampaikan melalui kotak komentar di bawah ini.

    No comments

    Post Top Ad