Produksi Meningkat, Petani Masih Melarat
Petani kentang Dieng dan hasil tanamannya. [antara] |
Asosiasi
Hortikultura Nasional (AHN) menilai, jika produksi kentang meningkat harus
sebanding dengan meningkatnya kesejahteraan petani kentang.
Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim menjelaskan, harus ada konsep bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan petani khususnya petani kentang. Bisa dengan memperpendek jarak distribusi dan memotong mata rantai perdagangan.
"Harga dari petani ke pasar masih jauh. Menurut saya harga di petani itu dilihat dari biaya produksi yang variatif dengan lokasi dan akses transportasi yang berbeda-beda yang juga bisa mempengaruhi dalam menentukan harga di tingkat petani," lanjutnya kepada Kontan.co.id, Selasa, 20 November 2018.
Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim menjelaskan, harus ada konsep bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan petani khususnya petani kentang. Bisa dengan memperpendek jarak distribusi dan memotong mata rantai perdagangan.
"Harga dari petani ke pasar masih jauh. Menurut saya harga di petani itu dilihat dari biaya produksi yang variatif dengan lokasi dan akses transportasi yang berbeda-beda yang juga bisa mempengaruhi dalam menentukan harga di tingkat petani," lanjutnya kepada Kontan.co.id, Selasa, 20 November 2018.
Menurut Anton, prospek kentang sampai akhir tahun diharapkan bagus, pasar di dalam negeri juga bisa bagus, ekspor bisa meningkat, dan bisa menekan impor kentang industri dengan tidak menyalahgunakan aturan impor.
Anton menambahkan, kendala petani dalam mengembangkan kentang karena luas lahan yang semakin menyempit dan adanya perbedaan harga yang cukup jauh antara di petani dan di pedagang. "Kementerian Petanian dalam programnya juga harus tidak hanya mengenai akses dan pasar, tapi harus bisa mengontrol dan mengawasi," lanjutnya.
Kebutuhan konsumsi kentang dalam negeri dinilai terus meningkat,
baik kentang untuk konsumsi pangan maupun untuk produk olahannya. Dari tahun ke
tahun, luas areal dan produksi serta produktivitas kentang di Indonesia juga
selalu berfluktuasi. Sejak 2011-2014 luas panen dan produksi cenderung
meningkat, tetapi pada 2015 angkanya justru menurun.
Kepala Balai Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) Agung Eru Wibowo menyebutkan, selama lima tahun terakhir luas
panen kentang berkisar antara 59.882–76.291 hektare dengan produksi sebesar
955.488-1.347.815 ton. Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2016,
tingkat produktivitas kentang berfluktuasi antara 15,96–8,20 ton per hektare.
"Produktivitas kentang di Indonesia masih relatif
rendah dibandingkan dengan produktivitas di beberapa negara Eropa seperti
Belgia yang bisa mencapai rerata 44,3 ton per hektare, dan Belanda 42,5 ton per
hektare. Produktivitas budidaya kentang yang masih rendah dan belum optimal itu
merupakan tantangan utama perlu mendapat perhatian serius," ujarnya di
Kejajar, Wonosobo, Jumat, 31 Agustus 2018.
Hal itu disampaikan Agung saat kegiatan Desiminasi
Teknologi Penyediaan Benih Tanaman Kentang secara Ex Vitro di Halaman Gedung PT
Adhiguna Laboratory Desa Serang Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Kegiatan yang
dilakukan BPPT itu mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) Komisi VII dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo.
Dalam kesempatan itu, turut hadir Anggota Komisi VII DPR
RI, Tjatur Sapto Edy, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan
Bioteknologi, Soni Solistia Wirawan, Bupati Wonosobo Eko Purnomo, Kepala Dinas
Pangan Pertanian dan Perikanan (Dispaperkan) Abdul Munir, Asisten Pembangunan
Setda Wonosobo Sumaedi serta jajaran pejabat Dispaperkan dan para petani
kentang wilayah Dieng.
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan
Bioteknologi, Soni Solistia Wirawan menyebutkan, salah satu permasalahan utama
masih rendahnya produktivitas budidaya kentang adalah kurangnya ketersediaan
benih kentang berkualitas. Data Direktorat Jendral Hortikultura pada 2010,
menunjukkan pada 2008 kebutuhan bibit kentang sebesar 96.277 ton.
Sedangkan untuk ketersediaan benih bersertifikat dalam
negeri hanya sebesar 8.066 ton atau 8,3 persen. Hasil penelitian Hidayat pada
2010 dalam Afifah pada 2011 menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan bibit kentang
bersertifikat secara nasional hingga kini hanya mencapai 10 persen, sedangkan
sisanya menggunakan bibit hasil seleksi sendiri yang berkualitas rendah.
Anggota Komisi VII DPR RI, Tjatur Sapto Edy mengaku sangat
mendukung upayapengaplikasian teknologi penyediaan benih kentang Ex Vitro,
apalagi saat ini sudah diujicobakan di PT Adhiguna Laboratory Desa Serang
Kecamatan Kejajar, Wonosobo sejak 2017 hingga sekarang. "Dari hasil uji
coba penanaman pada 2017, dilaporkan produktivitas tanaman hasil dari perbanyakan
Ex Vitro 2-3 kali lipat lebih tinggi dari tanaman dengan benih umbi atau
konvensional," ujarnya. (kontan)
No comments