Konsep dan Perkembangan Pengendalian Hama Terpadu
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM) merupakan konsep pengelolaan ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Di Indonesia istilah PHT diartikan sebagai Pengendalian Hama Terpadu, tetapi sebenarnya jika dilihat dari sejarah pengembangan konsep, IPM atau Pengelolaan Hama Terpadu merupakan peningkatan dari konsep Integrated Pest Control (IPC) atau Pengendalian Hama Terpadu. Konsep PHT muncul pada tahun 1960-an karena kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Dunia menginginkan pendekatan dan teknologi pengendalian hama baru yang tidak tergantung pada penggunaan pestisida.
Keberadaan populasi hama tanaman di pertanaman selalu dianggap merugikan sehingga manusia berusaha membunuh hama dengan cara apapun. Awalnya dilakukan secara sederhana, yaitu secara fisisk dan mekanik menggunakan alat sederhana seperti alat pemukul. Tetapi, semakin luasnya daerah pertanian menyebabkan cara-cara sederhana tidak mampu membendung peningkatan populasi hama. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli perlindungan tanaman pun kemudian mengembangkan berbagai metode dan teknik pengendalian hama yang lebih efektif.
Sejak 1968, pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut “obat hama”. Berikut adalah sebuah kutipan mengenai upaya pemerintah tersebut:
Penggunaan varietas unggul serta pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan menorong wereng cokelat (Nilaparvata lugens (Stål)), yang merupakan vektor penyakit tungro, mengalami ledakan populasi. Varietas unggul berdaya hasil tinggi rentan terhadap wereng cokelat dan tungro. Untuk mengatasi ledakan hama ini varietas unggul baru yang tahan terhadap wereng cokelat (dikenal sebagai varietas unggul tahan wereng, VUTW) dikeluarkan dan pestisida digunakan semakin intensif. Namun setiap kali dihasilkan varietas baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul wereng cokelat biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan VUTW. Pestisida pun harus digunakan semakin banyak tetapi ledakan populasi wereng cokelat terus saja terjadi. Ledakan wereng cokelat terjadi pada saat menjelang panen sehingga seluruh biaya telah dikeluarkan petani untuk membeli benih, pupuk, mengairi, dan merawat tanaman, menyebabkan kerugian menjadi semakin besar.
Sejak 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng coklat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah. Pada ekosistem sawah, dia menemukan (sebenarnya sudah ditemukan 15 tahun sebelumnya di Jepang), bahwa terdapat laba-laba, capung, berbagai jenis kumbang dan berbagai serangga parasitoid yang merusakkan telur, nimfa, dan imago wereng coklat. Penggunaan pestisida, selain mendorong munculnya biotipe wereng baru, justru mematikan musuh alami tersebut sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi hama sasaran (target pest resurgence) dan ledakan hama sekunder (secondary pest outbreak). Temuan ini kurang mendapatkan perhatian, bahkan di IRRI sendiri. IRRI terus sibuk berpacu menghasilkan VUTW baru setiap kali VUTW yang sudah ada dipatahkan ketahanannya oleh wereng coklat biotipe baru. Ledakan wereng coklat terjadi dengan interval teratur yang oleh pemulia tanaman disebut “boom and bust” karena VUTW tahan hanya sementara untuk kemudian ketahanannya lenyap begitu muncul wereng coklat biotipe baru.
Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan oleh Ida Nyoman Oka dari Deptan (sekarang Kementan) dan Kasumbogo Untung dari UGM pada awal 1980-an. Ketika pada 1985 terjadi lagi ledakan wereng coklat, seorang staf Depkeu (sekerang Kemenkeu) mengingatkan Menkeu ketika itu bahwa subsidi pestisida sudah terlalu besar dan oleh karena itu perlu dicari cara untuk mengurangi penggunaan pestisida. Menkeu melaporkan hal ini kepada Presiden Soeharto yang kemudian, dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai ekologi wereng cokelat yang dilakukan di Indonesia (dengan dukungan Dr. K. Sogawa, seorang pakar evoluasi wereng coklat ternama dari Jepang), mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3/1987 yang mencabut ijin dan melarang peredaran 57 jenis pestisida. Inpres ini merupakan tonggak awal PHT di Indonesia karena pada 1989 dicanangkan Program Nasional PHT dengan dukungan Program Antar-Negara PHT Padi FAO (dipimpin oleh Peter Kenmore). Program Nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS dan memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang dinilai dunia sebagai berhasil menerapkan PHT.
Dengan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, apakah sebenarnya PHT itu? Menurut Untung (2007), PHT yang dalam peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai “pengendalian hama terpadu” sebenarnya adalah “pengelolaan hama terpadu”, dua konsep yang sebenarnya berbeda tetapi saling berkaitan. Dasar ilmiah “pengendalian hama terpadu” dikembangkan oleh para peneliti Universitas California di Berkeley dan di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian diadopsi pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada simposium tersebut, “pengendalian hama terpadu” diartikan sebagai pemaduan cara pengendalian kimiawi dan hayati:
PHT pada hakekatnya merupakan sebuah paradigma baru perlindungan tanaman bahwa OPT merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agroekosistem, keberadaan OPT tidak dapat benar-benar dihindarkan, melainkan sampai batas-batas tertentu perlu ditoleransi. Keberadaan OPT sampai padat populasi tertentu diperlukan untuk memungkinkan terjaganya proses ekologis jejaring makanan karena OPT merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis organisme lain yang dalam konteks perlindungan tanaman dikenal sebagai musuh alami (natural enemies). Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu, menyebabkan populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak. Oleh karena itu, PHT berbeda dengan perlindungan tanaman sebelumnya, tidak dimaksudkan untuk membasmi OPT, kecuali bila memang diperlukan, melainkan untuk menurunkan populasi OPT sampai pada padat populasi yang tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan. Dengan demikian, PHT tidak dimaksudkan sekedar untuk memaksimalkan produksi pertanian, melainkan lebih untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Dalam pertanian berkelanjutan, produktivitas, yaitu produksi per satuan luas, perlu dijaga keseimbangannya dengan stabilitas, yaitu fluktuasi produksi, kemerataan, yaitu distribusi produksi dalam masyarakat, dan kemandirian, yaitu kemampuan petani dan masyarakat pada umumnya untuk menggunakan sumberdaya milik sendiri secara efektif dan efisien.
Sebagaimana didefinisikan oleh Kogan (1998), PHT sesungguhnya merupakan sistem dukungan pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan sistem dukungan pengambilan keputusan adalah berbagai cara yang dilakukan untuk menentukan apakah tindakan pengendalian sudah atau belum perlu dilakukan, apa saja yang perlu dipertimbangkan, dan bila perlu dilakukan, tindakan pengendalian apa yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dengan demikian, pengambilan keputusan sebenarnya merupakan bagian PHT yang paling penting. Bahkan, dapat dikatakan bahwa PHT sesungguhnya adalah perubahan pengambilan keputusan dari pengendalian dengan pestisida secara terjadwal menjadi pengendalian dengan berbagai cara pada waktu yang ditentukan dengan menggunakan pertimbangan tertentu sebagai dasar pengambilan keputusan. Pada pengendalian OPT dengan pestisida secara terjadwal, pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang tidak penting sebab pelaksanaan pengendalian telah dijadwalkan.
Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. Sebagaimana dengan PHT sendiri yang berkembang dari “pengendalian hama terpadu” menjadi “pengelolaan hama terpadu”, pengambilan keputusan juga terus mengalami perkembangan. Pada awalnya, ketika PHT masih pada tahap “pengendalian hama terpadu”, pengambilan keputusan dilakukan dengan dasar ambang ekonomi (AE). AE merupakan padat populasi OPT yang perlu dikendalikan untuk mencegah menjadi semakin meningkat mencapai padat populasi yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (ambang luka ekonomis, ALE). AE sebagai dasar pengambilan keputusan ditetapkan oleh para pakar dengan menggunakan metode tertentu. Petani melakukan pemantauan agroekosistem dan mencocokkan apakah populasi OPT hasil pemantauan telah atau belum mencapai AE. Bila padat populasi hasil pemantauan telah mencapai AE maka tindakan perlindungan tanaman segera harus dilakukan. Sebaliknya bila padat populasi hasil pemantauan masih lebih rendah daripada AE maka tindakan perlindungan tanaman belum perlu dilakukan sampai diperoleh hasil dari pelaksanaan pemantauan agro-ekosistem berikutnya.
Pengambilan keputusan berdasarkan AE banyak dikritik karena sebenarnya dilakukan bukan oleh petani sendiri melainkan dengan bantuan pakar untuk terlebih dahulu menetapkan AE. Selain itu AE dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama kemampuan merusak dari hama yang dikendalikan, biaya pengendalian, dan harga hasil tanaman sehingga dengan demikian AE bersifat dinamik (senantiasa berubah). Bila harus menunggu ditetapkan oleh para pakar maka akan selalu terlambat, tetapi bila harus ditetapkan oleh petani sendiri menjadi terlalu rumit. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan maka pengambilan keputusan dengan menggunakan instrumen AE semakin ditinggalkan dan digantikan dengan dasar pertimbangan yang lebih mudah dapat dilakukan oleh petani sendiri atau bila dilakukan oleh pakar maka harus dapat dilakukan dengan cepat seiring dengan dinamika OPT sendiri. Hal ini melahirkan cara pengambilan keputusan berbasis petani dan berbasis sistem pakar (expert system) dengan dukungan komputer dan dan jaringan internet.
Pengambilan keputusan berbasis petani di Indonesia sebenarnya telah dimulai ketika PHT menjadi program nasional dan dilaksanakan melalui sekolah lapang PHT (SL-PHT). Akan tetapi, perubahan tersebut tidak berlangsung dengan serta merta melainkan berlangsung beriringan dengan pengambilan keputusan berdasarkan AE. Semakin lama, setelah semakin banyak petani mengenyam SL-PHT maka pengambilan keputusan berbasis petani semakin dikedepankan dan pengambilan keputusan berdasarkan AE semakin ditinggalkan. Pengambilan keputusan berbasis petani didasarkan atas pemikiran bahwa petani adalah ahli PHT. Petani adalah orang yang paling mengerti dan paling berkepentingan akan usahataninya sehingga petanilah yang seharusnya paling bisa dan paling berhak memutuskan. Pengambilan keputusan berbasis petani tetap mempertimbangkan populasi OPT hasil pemantauan agro-ekosistem, tetapi keputusan tidak diambil dengan mencocokkan padat populasi hasil pemantauan dengan AE, melainkan dengan mempertimbangkan banyak hal yang disepakati bersama oleh anggota kelompok yang mempunyai usahatani di suatu hamparan tertentu. Dengan demikian, pengambilan keputusan berbasis petani dilakukan oleh petani secara bersama-sama, tidak bisa hanya secara individual sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa permasalahan OPT sesungguhnya adalah permasalahan perubahan keseimbangan ekologis sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan dalam satu wilayah hamparan secara bersama-sama dan dalam waktu bersamaan.
Pengambilan keputusan berbasis petani dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pertimbangan tambahan selain sekedar padat populasi hasil pemantauan agroekosistem. Pemantauan agro-ekosistem tetap dilakukan tetapi hasilnya tidak bersifat final sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE, melainkan dimusyawarahkan untuk memperoleh keputusan bersama. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor lain, di antaranya pengalaman petani, hasil pemantauan musuh alami, biaya pelaksanaan, nilai hasil usahatani, dan sebagainya. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai bantuan cara pengambilan keputusan, di antaranya pohon keputusan (decision tree), yang semuanya telah dipelajari melalui SLPHT. Setelah diputuskan melalui musyawarah maka keputusan mengikat setiap orang yang mempunyai usahatani pada hamparan yang sama untuk melakukannya bersama-sama. Pengambilan keputusan berbasis petani mengharuskan petani mengikat diri dalam organisasi kelompok tani.
Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan bersama-sama oleh petani dan oleh pihak luar yang mengoperasikan sistem pakar yang digunakan. Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar juga tidak hanya didasarkan semata-mata atas populasi OPT, melainkan berdasarkan berbagai faktor yang terlebih dahulu telah dipelajari secara mendalam dan diketahui mempengaruhi terjadinya ledakan OPT. Dengan demikian, pemantauan agro-ekosistem dalam pengambilan keputusan berbasis sistem pakar tidak hanya dilakukan terhadap OPT dan musuh alaminya, tetapi juga terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan OPT dan musuh alaminya. Faktor lingkungan yang lazim dipertimbangkan adalah kultivar tanaman, fase pertumbuhan tanaman, keadaan agroklimat, dan sebagainya. Pemantauan dapat dilakukan dengan melibatkan petani secara langsung maupun tidak langsung dan melaporkan hasilnya kepada sistem pakar untuk diproses secara terkomputerisasi. Hasil pemrosesan terkomputerisasi tersebut dikembalikan kepada petani untuk mengambil keputusan akhir pelaksanaannya. Di negara-negara maju, pelaporan hasil pemantauan kepada sistem pakar dan penyampaian hasil permosesan sistem pakar kepada petani dilakukan dengan dukungan internet, tetapi hal ini belum memungkinkan di negara-negara sedang berkembang.
Pengambilan keputusan dilakukan terhadap berbagai hal, di antaranya cara pengendalian yang diterapkan, saat melakukan tindakan, cara pelaksanaan, dan sebagainya. Cara pengendalian dapat berupa cara mekanik, cara fisik, cara kimiawi, cara hayati, cara genetik, cara budidaya, dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di antara cara-cara tersebut ditentukan satu atau beberapa cara untuk diterapkan secara bersamaan. Dalam pemilihan cara-cara tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir. Pemilihan sebagai alternatif terakhir tidak berarti bahwa setiap cara lain terlebih dahulu dicoba, melainkan dipertimbangkan masak-masak dan setelah melalui pertimbangan tersebut maka apabila tidak ada cara lain yang dipandang efektif barulah dapat digunakan cara kimiawi. Setelah cara pengendalian ditetapkan maka pelaksanaan pengendalian dilakukan sesuai dengan keputusan mengenai waktu pelaksanaan, apakah saat ini juga atau perlu menunggu beberapa waktu kemudian. Cara pelaksanaan bergantung pada dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan, apakah keputusan diambil berdasarkan AE, berdasarkan keputusan petani, atau berdasarkan sistem pakar. Pada pengambilan keputusan berdasarkan AE, pelaksanaan dapat dilakukan secara perseorangan atau secara berkelompok (bila penetapan AE dilakukan secara berkelompok), sedangkan pada pengambilan keputusan berdasarkan keputusan petani atau berdasarkan sistem pakar, pelaksanaan harus dilakukan secara berkelompok.
Dalam sejarah penerapannya, PHT berkembang setidak-tidaknya dalam tiga fase penting:
Keberadaan populasi hama tanaman di pertanaman selalu dianggap merugikan sehingga manusia berusaha membunuh hama dengan cara apapun. Awalnya dilakukan secara sederhana, yaitu secara fisisk dan mekanik menggunakan alat sederhana seperti alat pemukul. Tetapi, semakin luasnya daerah pertanian menyebabkan cara-cara sederhana tidak mampu membendung peningkatan populasi hama. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli perlindungan tanaman pun kemudian mengembangkan berbagai metode dan teknik pengendalian hama yang lebih efektif.
Sejak 1968, pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut “obat hama”. Berikut adalah sebuah kutipan mengenai upaya pemerintah tersebut:
Indonesia began the BIMAS rice intensification programme in 1968 and since then there have been great increases in their total yields and overall production -overall an increase of more than three times. Most of this was due to better irrigation, shorter duration varieties and credit support for purchasing chemical fertiliser. Along with intensification were subsidies for certain inputs such as fertilisers and pesticides. The general belief in the 1960s was that more agrochemical inputs - both fertiliser and pesticides - meant higher yields and production. The government had funds from oil and was able to spend large sums of money on these inputs. In the year between 1976 and 1980 the subsidies for pesticides were over US$ 50 million per year and between 1981 and 1988 they exceeded US$ 150 million per year.BIMAS berhasil meningkatkan produksi sampai sebesar tiga kali lipat. Lonjakan produksi ini berhasil dicapai melalui intensifikasi pertanian. Ketika itu “revolusi hijau”, yang menjadi roh kebijakan intensifikasi pertanian, sedang pada puncak masa kejayaannya dan ekologi belum berkembang seperti sekarang.
Penggunaan varietas unggul serta pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan menorong wereng cokelat (Nilaparvata lugens (Stål)), yang merupakan vektor penyakit tungro, mengalami ledakan populasi. Varietas unggul berdaya hasil tinggi rentan terhadap wereng cokelat dan tungro. Untuk mengatasi ledakan hama ini varietas unggul baru yang tahan terhadap wereng cokelat (dikenal sebagai varietas unggul tahan wereng, VUTW) dikeluarkan dan pestisida digunakan semakin intensif. Namun setiap kali dihasilkan varietas baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul wereng cokelat biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan VUTW. Pestisida pun harus digunakan semakin banyak tetapi ledakan populasi wereng cokelat terus saja terjadi. Ledakan wereng cokelat terjadi pada saat menjelang panen sehingga seluruh biaya telah dikeluarkan petani untuk membeli benih, pupuk, mengairi, dan merawat tanaman, menyebabkan kerugian menjadi semakin besar.
Sejak 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng coklat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah. Pada ekosistem sawah, dia menemukan (sebenarnya sudah ditemukan 15 tahun sebelumnya di Jepang), bahwa terdapat laba-laba, capung, berbagai jenis kumbang dan berbagai serangga parasitoid yang merusakkan telur, nimfa, dan imago wereng coklat. Penggunaan pestisida, selain mendorong munculnya biotipe wereng baru, justru mematikan musuh alami tersebut sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi hama sasaran (target pest resurgence) dan ledakan hama sekunder (secondary pest outbreak). Temuan ini kurang mendapatkan perhatian, bahkan di IRRI sendiri. IRRI terus sibuk berpacu menghasilkan VUTW baru setiap kali VUTW yang sudah ada dipatahkan ketahanannya oleh wereng coklat biotipe baru. Ledakan wereng coklat terjadi dengan interval teratur yang oleh pemulia tanaman disebut “boom and bust” karena VUTW tahan hanya sementara untuk kemudian ketahanannya lenyap begitu muncul wereng coklat biotipe baru.
Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan oleh Ida Nyoman Oka dari Deptan (sekarang Kementan) dan Kasumbogo Untung dari UGM pada awal 1980-an. Ketika pada 1985 terjadi lagi ledakan wereng coklat, seorang staf Depkeu (sekerang Kemenkeu) mengingatkan Menkeu ketika itu bahwa subsidi pestisida sudah terlalu besar dan oleh karena itu perlu dicari cara untuk mengurangi penggunaan pestisida. Menkeu melaporkan hal ini kepada Presiden Soeharto yang kemudian, dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai ekologi wereng cokelat yang dilakukan di Indonesia (dengan dukungan Dr. K. Sogawa, seorang pakar evoluasi wereng coklat ternama dari Jepang), mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3/1987 yang mencabut ijin dan melarang peredaran 57 jenis pestisida. Inpres ini merupakan tonggak awal PHT di Indonesia karena pada 1989 dicanangkan Program Nasional PHT dengan dukungan Program Antar-Negara PHT Padi FAO (dipimpin oleh Peter Kenmore). Program Nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS dan memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang dinilai dunia sebagai berhasil menerapkan PHT.
Dengan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, apakah sebenarnya PHT itu? Menurut Untung (2007), PHT yang dalam peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai “pengendalian hama terpadu” sebenarnya adalah “pengelolaan hama terpadu”, dua konsep yang sebenarnya berbeda tetapi saling berkaitan. Dasar ilmiah “pengendalian hama terpadu” dikembangkan oleh para peneliti Universitas California di Berkeley dan di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian diadopsi pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada simposium tersebut, “pengendalian hama terpadu” diartikan sebagai pemaduan cara pengendalian kimiawi dan hayati:
... applied pest control which combines and integrates biological and chemical control. Chemical control is used as necessary and in a manner which is least disruptive to biological control. Integrated control may make use of naturally occurring biological control as well as biological control effected by manipulated or induced biotic agents’. (Stern et al. 1959)Sementara itu, istilah “pengelolaan hama terpadu” diusulkan pertama kali sebenarnya oleh pakar ekologi Australia, P.W. Geier dan L.R. Clark, pada 1961. Istilah “pengelolaan hama terpadu” tersebut mulai mendapat lebih banyak perhatian di AS sejak publikasi artikel pada Annual Review of Entomology pada 1966, laporan National Academy of Science (NAS) pada 1969, dan prosiding konferensi di North Carolina yang menghadirkan pakar dari Australia. Istilah “pengendalian hama terpadu” sebagaimana yang sekarang digunakan, digunakan pertama kali pada 1998 oleh M. Kogan. Menurut Kogan, “pengelolaan hama terpadu” merupakan:
... a decision support sistem for the selection and use of pest control tactics, singly or harmoniously coordinated into a management strategy, based on cost/benefit analyses that take into account the interests of and impacts on producers, society, and the environment (Kogan, 1998).Terdapat banyak sekali definisi mengenai “pengelolaan hama terpadu”. Namun demikian, PHT sebenarnya adalah sistem pendukung pengambilan keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama. Dalam hal ini hama diartikan dalam pengertian yang luas, mencakup binatang hama, patogen, dan gulma pada hewan, ikan, dan tanaman, bahkan pada fasilitas umum dan lingkungan hidup. Dengan demikian jelas bahwa PHT bukan sekedar pemaduan satu atau lebih cara pengendalian sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Perlindungan Tanaman.
PHT pada hakekatnya merupakan sebuah paradigma baru perlindungan tanaman bahwa OPT merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agroekosistem, keberadaan OPT tidak dapat benar-benar dihindarkan, melainkan sampai batas-batas tertentu perlu ditoleransi. Keberadaan OPT sampai padat populasi tertentu diperlukan untuk memungkinkan terjaganya proses ekologis jejaring makanan karena OPT merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis organisme lain yang dalam konteks perlindungan tanaman dikenal sebagai musuh alami (natural enemies). Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu, menyebabkan populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak. Oleh karena itu, PHT berbeda dengan perlindungan tanaman sebelumnya, tidak dimaksudkan untuk membasmi OPT, kecuali bila memang diperlukan, melainkan untuk menurunkan populasi OPT sampai pada padat populasi yang tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan. Dengan demikian, PHT tidak dimaksudkan sekedar untuk memaksimalkan produksi pertanian, melainkan lebih untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Dalam pertanian berkelanjutan, produktivitas, yaitu produksi per satuan luas, perlu dijaga keseimbangannya dengan stabilitas, yaitu fluktuasi produksi, kemerataan, yaitu distribusi produksi dalam masyarakat, dan kemandirian, yaitu kemampuan petani dan masyarakat pada umumnya untuk menggunakan sumberdaya milik sendiri secara efektif dan efisien.
Sebagaimana didefinisikan oleh Kogan (1998), PHT sesungguhnya merupakan sistem dukungan pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan sistem dukungan pengambilan keputusan adalah berbagai cara yang dilakukan untuk menentukan apakah tindakan pengendalian sudah atau belum perlu dilakukan, apa saja yang perlu dipertimbangkan, dan bila perlu dilakukan, tindakan pengendalian apa yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dengan demikian, pengambilan keputusan sebenarnya merupakan bagian PHT yang paling penting. Bahkan, dapat dikatakan bahwa PHT sesungguhnya adalah perubahan pengambilan keputusan dari pengendalian dengan pestisida secara terjadwal menjadi pengendalian dengan berbagai cara pada waktu yang ditentukan dengan menggunakan pertimbangan tertentu sebagai dasar pengambilan keputusan. Pada pengendalian OPT dengan pestisida secara terjadwal, pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang tidak penting sebab pelaksanaan pengendalian telah dijadwalkan.
Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. Sebagaimana dengan PHT sendiri yang berkembang dari “pengendalian hama terpadu” menjadi “pengelolaan hama terpadu”, pengambilan keputusan juga terus mengalami perkembangan. Pada awalnya, ketika PHT masih pada tahap “pengendalian hama terpadu”, pengambilan keputusan dilakukan dengan dasar ambang ekonomi (AE). AE merupakan padat populasi OPT yang perlu dikendalikan untuk mencegah menjadi semakin meningkat mencapai padat populasi yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (ambang luka ekonomis, ALE). AE sebagai dasar pengambilan keputusan ditetapkan oleh para pakar dengan menggunakan metode tertentu. Petani melakukan pemantauan agroekosistem dan mencocokkan apakah populasi OPT hasil pemantauan telah atau belum mencapai AE. Bila padat populasi hasil pemantauan telah mencapai AE maka tindakan perlindungan tanaman segera harus dilakukan. Sebaliknya bila padat populasi hasil pemantauan masih lebih rendah daripada AE maka tindakan perlindungan tanaman belum perlu dilakukan sampai diperoleh hasil dari pelaksanaan pemantauan agro-ekosistem berikutnya.
Pengambilan keputusan berdasarkan AE banyak dikritik karena sebenarnya dilakukan bukan oleh petani sendiri melainkan dengan bantuan pakar untuk terlebih dahulu menetapkan AE. Selain itu AE dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama kemampuan merusak dari hama yang dikendalikan, biaya pengendalian, dan harga hasil tanaman sehingga dengan demikian AE bersifat dinamik (senantiasa berubah). Bila harus menunggu ditetapkan oleh para pakar maka akan selalu terlambat, tetapi bila harus ditetapkan oleh petani sendiri menjadi terlalu rumit. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan maka pengambilan keputusan dengan menggunakan instrumen AE semakin ditinggalkan dan digantikan dengan dasar pertimbangan yang lebih mudah dapat dilakukan oleh petani sendiri atau bila dilakukan oleh pakar maka harus dapat dilakukan dengan cepat seiring dengan dinamika OPT sendiri. Hal ini melahirkan cara pengambilan keputusan berbasis petani dan berbasis sistem pakar (expert system) dengan dukungan komputer dan dan jaringan internet.
Pengambilan keputusan berbasis petani di Indonesia sebenarnya telah dimulai ketika PHT menjadi program nasional dan dilaksanakan melalui sekolah lapang PHT (SL-PHT). Akan tetapi, perubahan tersebut tidak berlangsung dengan serta merta melainkan berlangsung beriringan dengan pengambilan keputusan berdasarkan AE. Semakin lama, setelah semakin banyak petani mengenyam SL-PHT maka pengambilan keputusan berbasis petani semakin dikedepankan dan pengambilan keputusan berdasarkan AE semakin ditinggalkan. Pengambilan keputusan berbasis petani didasarkan atas pemikiran bahwa petani adalah ahli PHT. Petani adalah orang yang paling mengerti dan paling berkepentingan akan usahataninya sehingga petanilah yang seharusnya paling bisa dan paling berhak memutuskan. Pengambilan keputusan berbasis petani tetap mempertimbangkan populasi OPT hasil pemantauan agro-ekosistem, tetapi keputusan tidak diambil dengan mencocokkan padat populasi hasil pemantauan dengan AE, melainkan dengan mempertimbangkan banyak hal yang disepakati bersama oleh anggota kelompok yang mempunyai usahatani di suatu hamparan tertentu. Dengan demikian, pengambilan keputusan berbasis petani dilakukan oleh petani secara bersama-sama, tidak bisa hanya secara individual sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa permasalahan OPT sesungguhnya adalah permasalahan perubahan keseimbangan ekologis sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan dalam satu wilayah hamparan secara bersama-sama dan dalam waktu bersamaan.
Pengambilan keputusan berbasis petani dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pertimbangan tambahan selain sekedar padat populasi hasil pemantauan agroekosistem. Pemantauan agro-ekosistem tetap dilakukan tetapi hasilnya tidak bersifat final sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE, melainkan dimusyawarahkan untuk memperoleh keputusan bersama. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor lain, di antaranya pengalaman petani, hasil pemantauan musuh alami, biaya pelaksanaan, nilai hasil usahatani, dan sebagainya. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai bantuan cara pengambilan keputusan, di antaranya pohon keputusan (decision tree), yang semuanya telah dipelajari melalui SLPHT. Setelah diputuskan melalui musyawarah maka keputusan mengikat setiap orang yang mempunyai usahatani pada hamparan yang sama untuk melakukannya bersama-sama. Pengambilan keputusan berbasis petani mengharuskan petani mengikat diri dalam organisasi kelompok tani.
Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan bersama-sama oleh petani dan oleh pihak luar yang mengoperasikan sistem pakar yang digunakan. Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar juga tidak hanya didasarkan semata-mata atas populasi OPT, melainkan berdasarkan berbagai faktor yang terlebih dahulu telah dipelajari secara mendalam dan diketahui mempengaruhi terjadinya ledakan OPT. Dengan demikian, pemantauan agro-ekosistem dalam pengambilan keputusan berbasis sistem pakar tidak hanya dilakukan terhadap OPT dan musuh alaminya, tetapi juga terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan OPT dan musuh alaminya. Faktor lingkungan yang lazim dipertimbangkan adalah kultivar tanaman, fase pertumbuhan tanaman, keadaan agroklimat, dan sebagainya. Pemantauan dapat dilakukan dengan melibatkan petani secara langsung maupun tidak langsung dan melaporkan hasilnya kepada sistem pakar untuk diproses secara terkomputerisasi. Hasil pemrosesan terkomputerisasi tersebut dikembalikan kepada petani untuk mengambil keputusan akhir pelaksanaannya. Di negara-negara maju, pelaporan hasil pemantauan kepada sistem pakar dan penyampaian hasil permosesan sistem pakar kepada petani dilakukan dengan dukungan internet, tetapi hal ini belum memungkinkan di negara-negara sedang berkembang.
Pengambilan keputusan dilakukan terhadap berbagai hal, di antaranya cara pengendalian yang diterapkan, saat melakukan tindakan, cara pelaksanaan, dan sebagainya. Cara pengendalian dapat berupa cara mekanik, cara fisik, cara kimiawi, cara hayati, cara genetik, cara budidaya, dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di antara cara-cara tersebut ditentukan satu atau beberapa cara untuk diterapkan secara bersamaan. Dalam pemilihan cara-cara tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir. Pemilihan sebagai alternatif terakhir tidak berarti bahwa setiap cara lain terlebih dahulu dicoba, melainkan dipertimbangkan masak-masak dan setelah melalui pertimbangan tersebut maka apabila tidak ada cara lain yang dipandang efektif barulah dapat digunakan cara kimiawi. Setelah cara pengendalian ditetapkan maka pelaksanaan pengendalian dilakukan sesuai dengan keputusan mengenai waktu pelaksanaan, apakah saat ini juga atau perlu menunggu beberapa waktu kemudian. Cara pelaksanaan bergantung pada dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan, apakah keputusan diambil berdasarkan AE, berdasarkan keputusan petani, atau berdasarkan sistem pakar. Pada pengambilan keputusan berdasarkan AE, pelaksanaan dapat dilakukan secara perseorangan atau secara berkelompok (bila penetapan AE dilakukan secara berkelompok), sedangkan pada pengambilan keputusan berdasarkan keputusan petani atau berdasarkan sistem pakar, pelaksanaan harus dilakukan secara berkelompok.
Dalam sejarah penerapannya, PHT berkembang setidak-tidaknya dalam tiga fase penting:
- PHT ambang ekonomi (PHT-AE), yaitu fase PHT sebagai “pengendalian hama terpadu” yang pengambilan keputusannya dilakukan untuk menentukan apakah aplikasi pestisida perlu dilakukan atau belum dengan membandingkan padat populasi OPT hasil pemantauan dengan AE.
- PHT sekolah lapang (PHT-SL), yaitu fase PHT yang diorganisasikan oleh pihak luar (pemerintah, LSM) dengan pengambilan keputusan yang dilakukan berbasis keputusan oleh petani sendiri yang telah “diberdayakan” untuk melakukan pengambilan keputusan melalui sekolah lapang.
- PHT masyarakat (PHT komunitas), yaitu fase PHT yang berkembang melalui penyadaran masyarakat untuk mampu mengorganisasikan diri dalam melaksanakan PHT. Penyadaran mula-mula dapat dilakukan oleh pihak luar tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan tanaman selanjutnya dilakukan oleh masyarakat sendiri.
No comments