Bagaimana Mahasiswa Universitas Berwawasan Global Mengerjakan Tugas dan Menjawab Ujian
Saya merasa sangat terhormat bertugas menjadi dosen pada sebuah universitas berwawasan global (global oriented university). Oleh karena itu, saya berusaha sekuat tenaga mengajar dengan cara-cara sebagaimana seharusnya merupakan cara-cara berwawasan global. Hal itu saya lakukan antara lain dengan membuat matakuliah yang saya asuh menjadi online dalam bentuk blog. Matakuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman dapat diakses melalui blog dengan URL http://muditadpt.blogspot.com. Saya sudah menyampaikan pada awal perkuliahan agar mahasiswa memberikan tanggapan terhadap tulisan dalam blog ini sebagai bagian dari proses pembelajaran. Tetapi mahasiswa hanya mendaftar saja, itu pun mereka lakukan karena merupakan persyaratan untuk bisa mengunduh bahan ajar.
Ketika saya meminta mahasiswa mengerjakan tugas secara offline, semuanya terlambat selama satu minggu dari jadwal yang ditetapkan, bahkan ada yang sampai dua minggu. Tugas mengomentari tulisan (posting) dilakukan hanya terhadap tulisan yang digunakan sebagai tugas. Tidak ada seorang mahasiswa pun yang memberikan komentar terhadap tulisan lainnya, padahal sudah berulang kali saya sampaikan bahwa memberikan komentar terhadap tulisan dalam blog merupakan bagian dari proses pembelajaran berwawasan global. Mahasiswa universitas berwawasan global perlu bisa berinteraksi melalui Internet. Tapi begitulah, rupanya mereka sudah merasa berwawasan global cukup dengan membaca semboyan pada gerbang universitas.
Ketika saya meminta mahasiswa mengerjakan tugas membuat deskripsi organisme pengganggu tumbuhan dan kemudian menayangkannya dalam blog kelompok, hanya dua dari sepuluh kelompok mahasiswa yang mengerjakan tugas. Padahal cara membuat blog sudqh saya uraikan, demikian juga dengan tautan (link) untuk memperoleh referensi yang diperlukan untuk membuat deskripsi. Apakah begitu sulit membuat sebuah blog? Mungkin memang tidak mudah, tetapi itu kalau cara membuatnya tidak saya jelaskan secara rinci langkah demi langkah. Rupanya yang menjadi persoalan bukanlah sulit atau tidak. Persoalan sesuangguhnya mungkin lain. Mahasiswa tahu bahwa dalam kurikulum berbasis kompetensi mereka akan lulus cukup dengan duduk manis di ruang kuliah (duduk dan tidak pernah bertanya). Itu pun mereka lakukan setelah dosen datang terlebih dahulu menunggu mereka. Datang terlambat seakan-akan sudah menjadi bagian dari sebuah wawasan global.
Lalu bagaimana dengan mengikuti ujian? Biasanya saya memberikan ujian secara offline, tetapi sebagai bagian dari upaya kecil saya untuk mewujudkan proses pembelajaran berwawasan global, saya mencoba memberikan ujian yang jawabannya dikirimkan melalui email. Hasilnya? Ternyata hanya sebagian mahasiswa yang mengirimkan jawaban ujian. Dari mahasiswa yang mengirimkan jawaban tersebut, beberapa mengirimkan jawaban sebagai pesan email, padahal saya sudah minta mereka mengirimkan jawaban sebagai lampiran (attachment). Bukan hanya itu, sebagian mahasiswa mengirimkan email jawaban tanpa mengisi kotak perihal (subject) sehingga surat masuk dengan keterangan no subject.
Saya sudah menirimkan email balasan untuk meminta kembali mahasiswa yang mengirimkan jawaban sebagai pesan email untuk mengirimkan kembali jawaban sebagai lampiran email. Namun saya tahu, tidak akan mendapat tanggapan, sebagaimana yang terjadi pada matakuliah lainnya. Meskipun begitu, saya menyampaikan ini agar mereka tahu bahwa saya melakukan ini dengan sungguh-sungguh.
Apakah saya kecewa? Tentu saja tidak. Ini semua adalah bagian dari sebuah kehormatan dari mempeoleh kesempatan mengajar di sebuah universitas berwawasan global. Tentu saja saya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi ini semua. Sebab saya tahu bahwa di negeri ini, dewasa ini, predikat selalu menjadi lebih penting dari kenyataan sesungguhnya. Sebagai bagian dari itu semua, lulus menjadi sarjana dan memperoleh gelar akademik jauh lebih penting daripada bagaimana menjadi seorang sarjana. Terima kasih kepada Anda yang sudah membaca tulisan ini.
Ketika saya meminta mahasiswa mengerjakan tugas secara offline, semuanya terlambat selama satu minggu dari jadwal yang ditetapkan, bahkan ada yang sampai dua minggu. Tugas mengomentari tulisan (posting) dilakukan hanya terhadap tulisan yang digunakan sebagai tugas. Tidak ada seorang mahasiswa pun yang memberikan komentar terhadap tulisan lainnya, padahal sudah berulang kali saya sampaikan bahwa memberikan komentar terhadap tulisan dalam blog merupakan bagian dari proses pembelajaran berwawasan global. Mahasiswa universitas berwawasan global perlu bisa berinteraksi melalui Internet. Tapi begitulah, rupanya mereka sudah merasa berwawasan global cukup dengan membaca semboyan pada gerbang universitas.
Ketika saya meminta mahasiswa mengerjakan tugas membuat deskripsi organisme pengganggu tumbuhan dan kemudian menayangkannya dalam blog kelompok, hanya dua dari sepuluh kelompok mahasiswa yang mengerjakan tugas. Padahal cara membuat blog sudqh saya uraikan, demikian juga dengan tautan (link) untuk memperoleh referensi yang diperlukan untuk membuat deskripsi. Apakah begitu sulit membuat sebuah blog? Mungkin memang tidak mudah, tetapi itu kalau cara membuatnya tidak saya jelaskan secara rinci langkah demi langkah. Rupanya yang menjadi persoalan bukanlah sulit atau tidak. Persoalan sesuangguhnya mungkin lain. Mahasiswa tahu bahwa dalam kurikulum berbasis kompetensi mereka akan lulus cukup dengan duduk manis di ruang kuliah (duduk dan tidak pernah bertanya). Itu pun mereka lakukan setelah dosen datang terlebih dahulu menunggu mereka. Datang terlambat seakan-akan sudah menjadi bagian dari sebuah wawasan global.
Lalu bagaimana dengan mengikuti ujian? Biasanya saya memberikan ujian secara offline, tetapi sebagai bagian dari upaya kecil saya untuk mewujudkan proses pembelajaran berwawasan global, saya mencoba memberikan ujian yang jawabannya dikirimkan melalui email. Hasilnya? Ternyata hanya sebagian mahasiswa yang mengirimkan jawaban ujian. Dari mahasiswa yang mengirimkan jawaban tersebut, beberapa mengirimkan jawaban sebagai pesan email, padahal saya sudah minta mereka mengirimkan jawaban sebagai lampiran (attachment). Bukan hanya itu, sebagian mahasiswa mengirimkan email jawaban tanpa mengisi kotak perihal (subject) sehingga surat masuk dengan keterangan no subject.
Mahasiswa Peserta Kuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman Semester Ganjil 2012/2013 yang mengumpulkan jawaban ujian melalui email |
Apakah saya kecewa? Tentu saja tidak. Ini semua adalah bagian dari sebuah kehormatan dari mempeoleh kesempatan mengajar di sebuah universitas berwawasan global. Tentu saja saya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi ini semua. Sebab saya tahu bahwa di negeri ini, dewasa ini, predikat selalu menjadi lebih penting dari kenyataan sesungguhnya. Sebagai bagian dari itu semua, lulus menjadi sarjana dan memperoleh gelar akademik jauh lebih penting daripada bagaimana menjadi seorang sarjana. Terima kasih kepada Anda yang sudah membaca tulisan ini.
No comments