Harga CPO Anjlok, Petani Terpukul
Seorang petani sedang mengumpukan sawit yang dipanennya. [via republika] |
Petani swadaya terpukul akibat harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang terus mengalami tren penurunan hingga November 2018. Hal ini menyebabkan para petani swadaya tidak mampu memproduksi sawit, karena harga jualnya rendah sementara biaya produksinya tinggi.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan hal itu di Jakarta, Rabu, 6 Desember 2018.
Menurut dia, selama ini petani swadaya menjual hasil panen sawit kepada tengkulak. Dari tengkulak, baru kemudian sawit akan dijual kepada perusahaan minyak sawit.
Melalui mekanisne rantai pasokan ini, maka petani sulit memperoleh keuntungan besar. Apalagi dengan tren harga minyak sawit mentah yang terus menurun. Adapun, petani swadaya saat ini hanya dapat menjual hasil panen sawit kepada kepada tengkulak dengan harga di kisaran Rp 500 hingga Rp 600 per kilogram.
"Sekarang petani jual ke tengkulak semua. Dengan situasi seperti, banyak tengkulak mempermainkan harga ke petani," kata Darto di Jakarta, Rabu, 6 Desember 2018.
Gerak petani untuk memasok Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik pengolah minyak sawit juga semakin terbatas, karena tangki CPO di pabrik banyak yang mengalami kelebihan produksi. Akibatnya, terjadi penumpukan pasokan minyak sawit di pelabuhan. Pembatasan itu tidak hanya terjadi untuk petani swadaya, tetapi juga petani plasma yang menjadi mitra perusahaan minyak sawit.
Adapun kebijakan pemerintah menetapkan penghapusan pungutan ekspor sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari US$ 50 dolar per ton menjadi US$ 0 disebut masih belum terlalu signifikan meredam tekanan yang dialami petani karena kebijakan itu berlaku jika harga acuan CPO anjlok di bawah US$ 570 per ton. Namun pungutan ekspor juga bakal kembali seperti semula yaitu sebesar 50% jika harga CPO telah melewati batas harga US$ 619 per ton.
Darto menilai pungutan tersebut masih terlalu tinggi, sehingga dapat mempengaruhi keuntungan petani. "Pungutan US$ 50 per ton itu masih akan berlaku kalau harga CPOnya tinggi. Harapannya itu tetap ada, tapi jangan terlalu tinggi," kata dia.
Darto menyebut pelemahan harga CPO disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak ada kalkulasi ekonomi untuk menghitung permintaan terhadap kebutuhan luas lahan yang akan menjadi sumber pasokan, sehingga produksi sawit terus berlebih. "Tidak ada kalkulasi ekonomi, misalnya dari konteks demand itu analisis demand-nya itu berapa, itu bisa dipasok dari berapa luasan," kata dia.
Kedua, tidak adanya tata kelola hutan sawit. Namun dia berharap dengan Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium lahan sawit bisa membenahi tata kelola dan produktivitas petani. Kemudian ketiga, tidak adanya tata kelola Tandan Buah Segar (TBS) Sawit.
Adapun, dari 14,3 juta hektar luas lahan perkebunan sawit, 30% dimiliki oleh petani swadaya. Sementara itu, dengan optimalisasi program pencampuran minyak sawit 20% dengan solar (B20) pada2019, diharapkan petani segera mendapatkan manfaat dan keuntungan yang layak dari penjualan sawit sebagai bahan baku B20.
No comments